Bismillahirrahmaanirrahiim
^_^
Rara
Assalamu'alaykum.wr.wb..
Perkenalkan nama saya Mutiara Muslimah, saya biasa
dipanggil Rara. Kali ini saya ingin bercerita. Mungkin tullisan ini sedikit kontroversi
ya, karena judulnya yang sedikit ekstrem. Tapi inilah yang ingin sekali saya curahkan—saya tidak bisa menyimpan
sendiri apa yang menjadi beban saya.
Pernahkah anda merasa menjadi orang yang diintimidasi?
Menjadi orang yang selalu di mata-matai? Orang yang selalu di pojokkan? Well,
sebenarnya inti dari tulisan ini hanya sekedar ingin mencurahkan isi hati saya
selama ini menjalani hiruk pikuk dunia dakwah di kancah kampus nasional *?*
Saya memang bukan orang yang alim, bukan juga orang yang
senantiasa wara’ terhadap syariat islam, baaanyak sekali kekurangan yang saya
miliki—bahkan mungkin saya ngga pantes jadi aktivis dakwah. That’s the point.
Tapi akhirnya saya putuskan meski seburuk rupanya saya sebagai perwujudan
aktivis dakwah, saya ingin memantaskan diri menjadi orang yang menolong agama
Allah. Bisa dibilang, saya ngga tahu malu kalau saja saya tidak menjalankan
kewajiban dakwah ini sedangkan Allah tanpa saya mintapun senantiasa memberikan
ni’mat dan berkah di dunia ini. Jadinya ya gitu, saya putuskan jadi orang yang
mengamalkan amar ma’ruf nahi munkar. Meski dalam perjalanannya saya banyak
mendapat tantangan lahir maupun batin.
Cerita saya bermulai dari
bagaimana saya bisa mempelajari lebih dalam agama islam yang sudah sejak kecil saya anut. Ketika itu saya sudah pernah bikin tulisan tentang MLC kan ya? Bisa dilihat di link ini. Nah, sekarang saya sudah menghadapi tahun ketiga perkuliahan saya, dan terus saja menjalani tekanan selama berada di profesi pendakwah ini. Puncak kejenuhan berada di tempat yang senantiasa meluruhkan semangat saya.
bagaimana saya bisa mempelajari lebih dalam agama islam yang sudah sejak kecil saya anut. Ketika itu saya sudah pernah bikin tulisan tentang MLC kan ya? Bisa dilihat di link ini. Nah, sekarang saya sudah menghadapi tahun ketiga perkuliahan saya, dan terus saja menjalani tekanan selama berada di profesi pendakwah ini. Puncak kejenuhan berada di tempat yang senantiasa meluruhkan semangat saya.
Maaf, mungkin saya yang salah. Atau mungkin saya memang
belum tentu salah tapi saya keliru dalam melakukan penatalaksanaan (menyikapi). Saya ingin sekali cepat
berakhir masa jabatan mas’ul akhwat saya. Seriously! :(
Saya memahami kalau setiap orang memiliki sifat, hobi,
makanan kesukaan, bahkan prinsip yang berbeda-beda. Tapi apa daya jika ternyata
perbedaan itu juga terdapat pada pandangan seseorang dalam membangkitkan islam
di muka bumi. Saya sudah menjalani 2 tahun kajian saya di 2 harakah yang
berbeda. 1 harakah yang dulu juga ada di sekolah saya sebut saja harakah A.
Lalu harakah yang ada di kampus saya yaitu harakah B.
Dalam perjalanannya, sebenarnya kedua harakah ini memang
harakah yang baik. Saya sangat bahagia berada di antara orang-orang yang
shalehah. Tapi setelah menjalaninya, saya semakin jenuh dengan keadaan yang
memaksa saya “Come on! Your choice!” saya harus memilih dengan segera harakah
mana yang harus saya jalani dengan fokus.
Sekarang kita bahas saja motivasi saya ingin mengkaji
islam. Nah, jujur saja banyak
sekali motivasi tiap-tiap orang kenapa dia tiba-tiba dekat dengan Allah lalu
memutuskan untuk menjadi pejuang Allah. Beberapa di antaranya mungkin karena
sedang terkena musibah atau cobaan, ingat Allah ketika Allah sudah kangen sama
dia—Allah tegur dia, baru deh dia
nengok ke Tuhannya. Ada juga yang motivasinya mengkaji islam itu karena ingin
menjadi istri orang yang luarbiasa. Hhhmmmm, tidak sedikit lho orang yang
memiliki motivasi ini. Ingin membuat mudah kedua orangtuanya masuk surga? Nah,
banyak juga yang alasannya begini. Macam-macam! Lalu apakah motivasi saya waktu
itu?
Ketika saya pertama kali ikut acara Training dakwah, hal
pertama yang membuat saya ingin mengkaji islam adalah saya ingin menjadi orang
yang berprestasi. Beneran! Dalam artian, ketika sang pemateri Training
mengatakan kalau saya jadi pendakwah maka tidak akan membuat saya tidak pintar,
tidak akan mengurangi kecerdasan
saya, malah kecerdasan saya semakin terasah—dan saya langsung percaya itu. Lalu
apa, pada akhirnya saya ingin berdakwah hanya semata-mata karena berharap
dengan cara itu saya bisa dapat IP 4! wKwk
Yaah, memang
ada banyak ikhwan menawan, tapi sungguh, itulah motivasi saya. Saya orang yang
sangat ambisius, itulah sifat saya. Pada akhirnya saya ngaji di harakah A
dengan sangat semangat, ikhlas, rajin, meski saya sangat minim dalam hal
belajar agama. Saya memulai kajian saya ketika saya masuk Kuliah Semester 1. Di
semester 2 pun saya ikut kajian di kampus saya dengan harakah B, saya ikuti
dengan semangat pula, hingga akhirnya berjalan sampai sekarang ini. Saya sudah
melewati 4 semester menjadi aktivis dakwah.
Pada semester 3 saya terpilih menjadi mas’ul di kelompok
dakwah kampus saya yang isinya adalah harakah B. Karena saya dipilih jadi
mas’ul, saya akhirnya diwajibkan langsung mempelajari kitab mereka dan dibina
oleh murobbi dari tetingginya langsung.
Saya sangat mengapresiasinya, sangat ingin belajar lebih banyak. Biar jika
ketika suatu saat nanti saya memilih menentukan harakah mana yang ingin saya
bai’at bukan karena desas desus, bukan karena hasutan, bukan karena mood dll tapi karena memang saya
sudah mempelajari dengan baik. Saya juga sering sekali bertanya ketika liqo
tentang segala hal yang belum saya mengerti. Intinya saya ingin belajar.
Untuk harakah A, saya juga sangat senang berada di sana.
Saya merasakan bagaimana perjuangan yang luarbiasa Rasulullah untuk
menyelamatkan umatnya dari jahiliyah. Sekarangpun kita tahu bahwa umat islam
sekarang dalam keadaan terpuruk, mereka islam tapi aturan hidup yang mereka
pakai kapitalisme sekuler. Ini yang membuat mereka jauh jadi sebutan ‘umat
terbaik’ yang dikatakan Allah dalam Al qur’an. Saya memahami tentang islam
kaffah lewat harakah ini. Yaah intinya harakah A ini adalah harakah yang to the
point menurut saya, ngga tanggung-tanggung menyampaikan opini. Juga berani
sekali menyuarakan yang tidak semua orang berani suarakan.
Akan tetapi ketika di kampus, saya sudah paham bahwa ini
mungkin terjadi, saya yang sudah di anggap orang kampus yang notabene ikut
harakah B menganggap saya yang juga ikut harakah A adalah orang perlu di awasi.
Entah karena harakah B tidak mau pemikiran harakah A masuk di antara kampus,
bisa jadi. Saya tidak mempermasalahkannya, saya sangat memahami tiap orang punya
prinsip. Perbedaan adalah bumbu gurih yang membuat hidup kita penuh tuntutan
kedewasaan. Saya tidak peduli dianggap orang yang ‘keras’ ‘radikal’ Cuma karena
saya juga ikut belajar di harakah A. Oh come on, how important it is? Memangnya
salah kah jika kita ingin belajar banyak? Ingin tahu kebenaran?
“tidak, kami hanya tidak ingin kelompok dakwah kampus
kita malah dapat imbas statement radikal dan keras gara-gara opini harakah A
tersebut juga ikut masuk di tengah-tengah kader kelompok kampus ini.”
Itukah alasannya? Lalu bagaimana dengan kader kampus yang
tidak tahu menahu tentang harakah B yang ternyata juga disengajakan masuk dalam
pemikiran mereka? Intinya sama saja, antara harakah A dan harakah B itu
sama—sama ingin di sebar luaskan opininya. Lalu, kenapa salah satu tidak mau
pemikiran yang lain masuk pada orang-orang? Apakah karena salah satunya sesat?
Tidak sesuai dengan syariat islam? Tidak sesuai al qur’an dan hadist?
Well, sejauh yang saya pelajari
sekarang, harakah A dan harakah B sesuai dengan Al qur’an hadist. Tapi tinggal
bagaimana pengemban dakwahnya memutuskan ikut mana sesuai dengan prinsip
hidupnya. Iya, mau ikut harakah mana saja itu pilihan hidup, tidak ada yang
salah jika kita memilih di antara dua itu. Dua-duanya punya dasar yang kuat
kok. Lalu kenapa antara dua harakah ini ada yang membatasi pergerakan harakah
lain? “eh, ada yang membatasi? Kami tidak membatasi. Kami Cuma menekankan bahwa
kelompok dakwah kampus kita itu adalah kelompok dakwah yang legal dan patut di
hargai perjuangannya.” Jawaban ini membuat saya bingung, harakah A juga legal
kok, ada gedung nya di jakarta. Diakui pemerintah. Tidak dicekal layaknya
ahmadiyah. Yaaah, mungkin saja maksudnya kampus ini adalah sarana dakwah resmi
bagi harakah B karena memang petinggi-petinggi kampus mengemban pada harakah
tersebut.
Pertanyaannya, kenapa harus membatasi penyebaran opini
dakwah dari harakah lain? Atau bahkan secara khusus, membatasi pergerakan
harakah A? Memangnya boleh ya membatasi pergerakan dakwah sesama muslim? Wallahu’alam
bissawab, sampai sekarang saya tidak mendapat jawaban
untuk hal ini. Saya pikir, mahasiswa adalah orang-orang yang mulai dewasa, bisa
berpikir kritis dan masuk akal—dan sudah pasti bisa menilai sendiri apa yang
menurut mereka baik ataupun tidak. Apapun keputusan seseorang tentang suatu
harakah, biarlah itu menjadi urusan dia saja. Mahasiswa sekarang semakin
cerdas, tak perlu kawatir dengan opini—mereka bebas memutuskan sendiri.
Ketika saya sudah dipilih menjadi mas’ul, saya diwajibkan
untuk mengemban amanah yang terdapat pada kelompok dakwah kampus. Saya harus
menjadi orang yang mengikuti prosedur. Itu tidak masalah, karena saya memang
belum membai’at harakah manapun. Saya juga harus mempelajari lebih dalam pada
ajaran yang terdapat pada harakah B. Hingga pada akhirnya saya sudah mendapat
kesimpulan dari metode yang digunakan harakah B untuk membangkitkan agama
islam. Yang saya
pahami yaitu “Ketika kamu ikut di kajian harakah B, sedangkan
kamu juga sedang ‘belajar pada harakah A’ (apa yang salah dengan belajar?) maka
di setiap pertemuan halaqah di sana kamu akan terus di ‘efek’ atau mungkin di
sudutkan, di beri materi yang fungsinya meyakinkan kamu agar mengakui kalau
harakah B ini lah yang menjadi jamaah kamu dalam berdakwah. Tidak masalah jika
‘menyebut merk’ harakah lain adalah keliru metode yang digunakannya.” Itulah
yang saya dapat. Sedikit risih dan di pojokkan, tapi mana saya tahu maksud dan
tujuannya. Hanya Allah yang tahu. Entah mungkin ingin meyakinkan saya agar
tetap pada jalurnya ketika menjabat sebagai mas’ul, tetap pada jalur standar
dakwah harakah B intinya. Atau mungkin agar saya gerah dengan kajian ini dan
mengundurkan diri jadi mas’ul akibat di tekan terlalu kuat? Sekali lagi, hanya
Allah yang tahu. Niat dan semangat belajar saya, rasa penasaran saya akan ilmu
agar saya tahu apa-apa yang belum saya tahu, keterbukaan saya untuk mendapatkan
ilmu tiba-tiba luntur sedikit demi sedikit. Kesimpulan yang saya dapat,
keterbukaan diri saya yang semangat ini tidak disambut baik. Malah mendapatkan
‘efekan-efekan’ saja. yaah, mungkin saya yang salah. Tapi saya bingung salah
saya di mana. Meskipun
begitu, saya tetap penasaran dan ingin tahu, kenapa mereka sampai begitu? Saya
harus mempelajari lebih banyak.
Sebenarnya ada juga materi yang membuat saya tertegur
atas perilaku saya yang belum sempurna, yaah memang saya sudah bilang dari awal
saya bisa jadi bahkan tidak layak menjadi aktivis dakwah dengan
kekurangan-kekurangan saya selama ini. Tapi saya tidak akan menyerah, saya akan
terus berusaha hingga saya layak. Saya bersyukur ada yang negur saya.
Berbeda halnya dengan kajian pada harakah A. Mereka tidak
pernah memojokkan saya, atau memberikan materi agar saya berada di jamaah
mereka misalnya. Tidak, mereka hanya memberikan materi kalau umat islam
sekarang terpuruk. Atau jika saya kebingungan dalam hal memahami tentang
harakah lain, mereka tidak pernah sebut merk. Ini nyata. Saya hanya diajarkan
bagaimana menjadi muslimah yang bangkit dan menjalani hidup dengan peraturan
islam secara menyeluruh, lalu memikirkan lagi bagaimana realita umat islam
sekarang ini. Kemudian, ketika saya mulai mendapatkan keraguan terhadapa
harakah A ini, selalu ada saja jawaban yang shahih. Setiap jawabannya
memuaskan. Mereka sangat
menghargai harakah lain, tak pernah ingin mempengaruhi binaannya memandang
jelek harakah lain. Mereka
hanya menjawab apa yang ditanyakan. Bahkan membiarkan saya untuk
belajar dan memutuskan sendiri. Apakah saya membela harakah ini? Tidak, demi
Allah saya hanya katakan apa yang telah saya lewati dan terjadi pada saya. Ketika saya penasaran apa sih nama harakah yang
menutup jalur gaza yang sebenarnya sangat berperan dalam pasokan makanan dan
obat untuk Palestina (nurut sama peraturan demokrasi)? Musyrifah saya menolak
memberitahu nama harakah tersebut. Beliau menyuruh saya mencari tahu sendiri.
Musyrifah saya pernah berkata pada saya “De, kalau ade mungkin nanti memilih
ikut harakah mana saja itu. Apakah itu ‘di sini’, atau ‘di sana’—satu saja
pesan kakak. Tetaplah lakukan segala hal dengan berpedoman al qur’an dan
hadist. Kalau ade yakin dengan jilbab pakaian muslimah yang syar’i, kenakan itu
de. Kalau ade tahu umat muslim hanya bisa tertolong dengan syari’ah dan
khilafah, sampaikan itu de. Sampaikan terus dan lakukan terus syari’at islam
meski di manapun harakah ade ikuti.” Subhanallah. Jika anda jadi saya, apakah
anda akan merasa tertekan dengan kalimat ini?
Yah, memang dulu saya sempat cape dengan harakah A yang
peraturan ketat, lalu segala hal yang
dilakukan dalam dakwah ribet, cape, berisiko, menguras segalanya—sempat seperti itu. Tapi itu
malah menandakan bahwa itulah kelebihan dari metode yang dipakai harakah A, lewat harakah ini—saya tahu Allah ingin saya
memberikan tenaga, pikiran, waktu, harta dll segala milik saya hanya untuk
agamaNya. Ketika itu saya malah sempat bersitegang dengan
musyrifah saya. Berada di harakah ini berbeda, kita di tuntut tangguh dalam
cacian dan cibiran. Sekarang pertanyaannya, apakah Rasulullah berdakwah dengan
seruan-seruan? Apakah Rasulullah berdakwah sambil dicibir pula? Apakah
Rasulullah berdakwah dengan masuk parlemen atau pemerintahan?
Sekarang saya sampaikan kejenuhan saya tentang kemelut
ini. Ketika itu memang saya pernah berkata bahwa saya loyal dengan kelompok
dakwah yang berada di kampus saya. Dengan menangis saya sampaikan bahwa jika di
antara organisasi kampus bukan dakwah di bandingkan dengan kelompok dakwah
kampus ini harus saya berikan kontribusi, maka saya sangat loyal dengan
kelompok dakwah kampus ini. Dan itu benar, saya sangat menobatkan diri saya
terhadap dakwah. Saya ingin berbagi kebaikan selagi saya bisa. Meskipun saya
banyak dosa, setidaknya kebaikan yang kecil sekali ini bisa menolong saya di
akhirat nanti. Saya loyal dengan kelompok dakwah ini—itu benar, bukan
harakahnya, tapi
Allah. Karena saya saja belum memutuskan satu suara dengan
harakah manapun. Akan sangat egois dan tidak adil jika saya harus begitu.
Dalam menimba ilmu di harakah A pun saya tidak baik,
jauuuh sekali kekurangan saya. Saya tidak cukup militan. Saya masih banyak sekali
kekurangan. Akan tetapi ketika saya mampu melakukan, maka akan saya lakukan.
Memang, jika dalam satu waktu terdapat amanah di harakah A dan juga harakah B,
maka saya di tuntut menunjukkan apakah saya ini lebih mendahulukan yang mana.
“Kami ingin tahu seberapa komitmen kader kita terhadap kelompok dakwah kampus.
Layaknya hukum alam saja.” Pertanyaannya, bukankah yang layak di jadikan
komitmen itu adalah islam? Allah SWT? Lalu apa yang harus di dahulukan? Jika
kita tengok lagi, yang harus di dahulukan itu meski kedua-duanya hukumnya
amanah wajib, maka dahulukan yang paling duluan membuat janji. Begitukan tata
cara berjanji dalam islam? Itulah yang saya lakukan selama ini, saya dahulukan
yang paling duluan berjanji dengan saya—ini bukan masalah komitmen. Komitmen
saya hanya untuk Allah dan agamaNya kok, bukan untuk sekelompok orang. Itu
namanya fanatisme, karena posisi saya sedang belum memilih. Terserah orang mau
berkata apa tentang saya, entah saya dianggap tidak bisa diandalkan, tidak
berguna dalam jamaah, tak masalah. Saya sudah biasa diinterogasi dan
dimata-matai orang tentang keyakinan saya dalam membangkitkan islam lewat islam
kaffah. Saya tipe orang yang mencontoh, maka yang saya lakukan hanya ingin
mencontoh yang Rasulullah lakukan dalam dakwah. Apa yang beliau lakukan
saat dakwah waktu itu, ‘berdakwah seperti apa?’ apakah mengikuti kehendak
kebanyakan orang?
Masih banyak sekali cerita kemelut ini terjadi dalam
dunia dakwah saya. Mungkin ini ujian, apakah saya layak dan sanggup menjalani
tugas yang tidak mudah ini. Problem ini tidak sesimpel ketika dulu saya ingin
pakai kerudung atau tidak—menutup aurat atau tidak, tapi lebih kompleks. Oleh
karena itu, bukan ada niat buruk saya ingin berbagi tulisan ini. Kata-demi-kata
yang mungkin terangkai ini sekedar curahan isi hati saya. Saya menyimpannya
begitu lama di tempat sempit atas leher saya berbentuk batok ini selama 4 semester.
Menjadikannya beban selama 2 tahun. Saya curahkan lewat cerita tulisan ini,
saya harap rasa sakit ini bisa membaik. Saya memahami betul perbedaan. Saya
menghormatinya. Tapi tidak semua perbedaan memahami perbedaan yang lain.
Wassalamu'alaykum.wr.wb..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar dari anda menambahkan hal positif bagi Zeki R.A.