Bismillahirrahmaanirrahiim ^_^
Rara
Aku berjalan di antara bilik lemari perpustakaan. Ada sedikit
harapan jika nanti akan bertemu dengan bacaan yang mengobati dukaku.
Banyak hal kupikirkan, beberapa yang lain terkait masalah kuliah dan
cita-citaku menjadi penulis.
"Ra, kamu udah berapa lama mondar-mandir di sini?" sapa kak Luna padaku.
"Sudah dari pagi kak. Ehehe. Kakak sedang apa?" ucapku.
"Aku sengaja mengamatimu loh, tahan juga kamu di tempat begini. Ini minimajalah untukmu, siapa tahu kau suka isinya." Aku sambut majalah itu dari tangan kak Luna. Kak Luna pergi sambil melambaikan tangan. Setelah beberapa menit kubaca salah satu cerita di majalah mini itu, aku mulai membuat pola pikir baru tentang studi dan cita-citaku.
Sayf Muhammad Isa
Semua berawal ketika saya menancapkan cita-cita untuk menjadi seorang
penulis semasa SMA kelas 2. Saking cintanya saya kepada cita-cita itu,
saya menyatakan diri bahwa saya sudah menikahi cita-cita itu, dan ia
sudah menjadi istri saya (mungkin ini penyakit gila nomor 12, hehe).
Lebih dari itu, saya mencukupkan diri saya hanya dengan cita-cita itu,
dan hanya ingin hidup dari situ. Untuk mendeklarasikan cita-cita ini,
saya sampai mendaki sebuah bukit di dekat rumah saya hingga ke
puncaknya, kemudian saya teriakkan cita-cita itu kepada dunia. Bahwa
saya hanya ingin menulis sampai saya tidak bisa menulis lagi, dan saya
hanya ingin hidup dengan menulis.
Karena saya sudah menancapkan cita-cita itu, ada konsekuensi yang
harus saya jalani. Hidup saya menjadi susah secara ekonomi. Saya jadi
miskin dan kere, hingga kemana-mana saya harus jalan kaki, karena nggak
punya ongkos buat naik angkot. Saya juga harus puasa daud, sebab saya
sulit menemukan makanan. Untuk sekadar survive, saya jualan koran dan
jadi tukang fotokopi.
Saat menjalani semua itu, saya terus menulis, setiap hari, menulis
apa saja. Hingga kemudian saya membangun sebuah media indie bersama
kawan-kawan saya. Media ini kami namai D’Rise (pada masa selanjutnya,
D’Rise ini terus berkembang atas bantuan guru-guru kami). Saya
menumpahkan hampir seluruh cita-cita dan hidup saya untuk menulis
bersama D’Rise. Saya mencukupkan diri hanya untuk mengembangkan media
ini. Dan secara materi, saya serta kawan-kawan hampir tidak mendapatkan
apa-apa dari sini, namun D’Rise telah kami jadikan seperti anak kami
sendiri.
Saya dan kawan-kawan saya sesama aktifis Islam ideologis sering kali
membicarakan soal pernikahan saat itu (ngaku deh, pasti kawan-kawan juga
sering ngobrolin dunia per-akhwat-an. Yang akhwat juga pasti sering
membahas dunia per-ikhwan-an). Gara-gara obrolan-obrolan itu, saya yang
saat itu masih lugu (lucu-lucu guoblog), juga tertular semangat untuk menikah. Maka kemudian saya mencoba untuk melamar seorang akhwat.
Saya pun mengontak seorang akhwat yang di mata saya adalah seorang
akhwat yang baik. Ketika saya menyampaikan niat baik saya untuk
melamarnya, dia malah menolak saya dengan amat menyakitkan. Saya rasa
dia tahu latar belakang ekonomi saya, karena lontaran-lontaran dia yang
menyakitkan itu mengarah ke sana.
Karena penolakan yang menyakitkan itu, saya jadi agak terguncang.
Saya jadi apatis terhadap pernikahan, dan bahkan bersikap tidak peduli.
Saya sempat berpikir, mungkin orang susah macam saya tidak akan pernah
menikah. Tapi biarkan sajalah, saya toh sudah menikah dengan cita-cita
saya.
Hidup terus berlanjut, saya terus menulis, dan setelah terjadinya
peristiwa itu, Allah swt menitipkan sebuah inspirasi kisah novel di
kepala saya. Bukan cuma itu, seluruh langkah membuat novel tergambar di
benak dari awal sampai selesai. Padahal saya belum pernah membuat novel
sebelumnya, dan tidak ada seorang pun yang mengajari saya. Maka kemudian
saya telusuri terus petunjuk itu (mungkin ini yang disebut ilham),
hingga saya berhasil menyelesaikan novel itu dalam waktu tujuh bulan.
Dan novel itu saya juduli “Sabil”. Tak lama kemudian, Sabil diterima
terbit di Mizan yang dikemas dalam bentuk dwilogi. D’Rise pun semakin
berkembang, dan telah terbit secara nasional. Saya terus menulis untuk
D’Rise sampai hari ini. Lah terus cerita jodohnya di bagian mana nih?
Hehehe, sabar, ini dia bagian cerita tentang jodohnya.
D’Rise punya dua orang anggota redaksi dari kalangan akhwat. Salah
satunya pakai nama pena Alga Biru. Nah si Alga Biru ini kabarnya tinggal
di Medan, dan dia menangani rubrik khusus cewek di D’Rise. Dia bekerja
dari jarak jauh. Caranya, pemred D’Rise, mas Guslaeni Hafiz, mengirimkan
TOR tiap rubrik kepada semua kru redaksi, termasuk kepada si Alga Biru
ini. Kemudian setelah naskahnya yang ditulis berdasarkan TOR tadi
selesai, langsung dikirimkan saja ke email redaksi.
Sebelumnya saya tidak mengenal dan tidak punya hubungan apa-apa
dengan si Alga Biru ini. Tapi saya membaca tulisan-tulisannya baik fiksi
maupun nonfiksi yang masuk ke redaksi D’Rise, dan saya tahu bahwa dia
punya jam terbang lebih tinggi dalam menulis daripada saya. Maka saya
berpikir untuk mengirimkan novel Sabil saya kepadanya, untuk meminta
pendapat ilmiah tentang novel saya tadi. Saya tidak hanya mengirimkan
novel ini kepadanya saja, tetapi saya juga mengirimkan Sabil kepada
beberapa kawan yang lain untuk minta pandangan kawan-kawan (termasuk
salah satunya adalah Pak Salman Iskandar, guru menulis saya). Maka
kemudian saya kontak si Alga Biru via Facebook. Dia merespon, lantas
saya kirimkan novel saya kepadanya. Saya tidak punya feeling apa-apa.
Beberapa hari kemudian Alga Biru mengirimkan semacam komentar tentang
novel saya. Namun ternyata bukan hanya itu, dia juga mengajukan sebuah
ajakan untuk menikah dengan saya. Waduh, saya kaget!!! Gileee bener,
saya kaget. Yang muncul kemudian di dalam diri saya adalah rasa apatis
dan tidak habis pikir. “Ini akhwat apa udah gila?!” hehehe… sori ya Alga
Biru.
Bagaimana mungkin saya tidak berpikir begitu, sebab ajakan ini adalah
sebuah ajakan yang besar dan tidak boleh dipermainkan. Tapi ternyata
ini kenyataan, ada seorang akhwat yang mengajak menikah kepada saya,
padahal akhwat ini gaib, dia tinggal jauh di seberang lautan, kenal aja
nggak, ketemu aja belum pernah, ngeliatnya aja belum pernah, lah tau-tau
ngajakin nikah. Ini becanda kali!!!
Tapi saya hargai ajakan si Alga Biru dengan menyampaikan tentang
keadaan saya, bahwa saya ini orang miskin dan kere yang pengen jadi
penulis. Karena saya lebih sering nggak punya uang, jadi kemana-mana
saya jalan kaki. Saya juga jarang makan, jadi agar “jarang makan” itu
menjadi pahala, saya sering melaksanakan puasa daud. Keluarga saya juga
termasuk kalangan elit (ekonomi sulit), adik saya banyaknya bererot.
Saya ceritakan kenyataan tentang diri saya. Dengan kata lain, saya
menyampaikan semua ini untuk menakut-nakuti si Alga Biru agar menarik
kembali ajakannya itu. Hehehe, sori ya Alga Biru. Tapi apa yang terjadi,
Alga Biru tidak peduli.
Alga Biru tetap pada pendiriannya untuk mengajak saya menikah. Saya
jadi berpikir lagi tentang semua ini. Saya jadi banyak merenung, apa
yang mesti saya lakukan? Saya minta petunjuk kepada Allah, tentu saja.
Kemudian bertanya kepada kawan-kawan yang sudah berpengalaman. Satu hal
yang masih mengganjal di hati saya adalah, apakah orang miskin seperti
saya bisa menikah? Jaman sekarang gitu lho, nikah itu biayanya mahal.
Belum lagi mahar, buat walimahan, biaya tetekbengek lainnya. Apalagi si
Alga Biru tinggalnya jauh di seberang lautan, perlu berapa duit bakal
ongkos ke sana? Apakah bisa orang macam saya ini menikah? Saya ragu!!!
Tapi saya kembali kepada keyakinan bahwa Allah-lah yang berkuasa atas
segala sesuatu. Dia berjanji bahwa Dia pasti akan menolong orang yang
ingin menjaga kemuliaan dan kehormatannya. Dan dia tidak akan pernah
mengingkari janjinya. Salah satu hal yang juga menguatkan saya adalah
kisah menikahnya Ali bin Abi Thalib ra dan Fatimah binti Rasulullah yang
diceritakan oleh Abay Abu Hamzah. Ali bin Abi Thalib ra. pun miskin
ketika menikah dengan Fatimah. Beliau hanya punya harta baju zirah, dan
baju zirah itulah yang dijadikan mahar. Setelah baju zirah itu
diserahkan, beliau tidak punya apa-apa lagi. Subhanallah…!!!
Siapa Alga Biru memang belum pernah saya kenal. Tapi saya tahu bahwa
dia seorang perempuan yang baik karena dia mengajak kepada kebaikan,
yakni mengajak menikah. Saya berpikir bahwa ini adalah amalan mulia yang
dahulu pernah dilakukan oleh Khadijah istri Rasulullah S.A.W. Dahulu,
Khadijah pun mengajak menikah kepada Rasulullah Muhammad S.A.W. Saya
juga mengetahui bahwa Alga Biru adalah seorang aktifis Islam ideologis.
Rasulullah menyatakan dalam salah satu hadisnya, jika kita memilih
seorang perempuan karena agamanya, maka kita akan bahagia selamanya.
Maka saya mencukupkan diri dengan hal itu.
Saya sampaikan kepada Alga Biru, bahwa saya akan berjuang untuk
menikah dengannya. Saya akan berjuang untuk datang ke Medan untuk
melamarnya kepada orangtuanya. Padahal saat saya berkata seperti itu,
saya tidak punya ongkos sama sekali. Dan setelah semuanya itu, saya
tetap tidak tahu seperti apa sosok Alga Biru.
Sejak saat itu, kami telah memilih satu sama lain, saya memilih dia,
dia pun memilih saya. Kami pasrahkan pilihan itu kepada Allah, dan kami
saling berjuang untuk pilihan kami itu.
Suatu kali, sebelum saya berangkat ke Medan, Alga Biru bilang pada
saya bahwa dia akan mengirimkan fotonya lewat email. Tapi saya menolak.
Saya katakan padanya bahwa saya memilihnya karena akhlak dan agamanya,
kalau dia mengirimkan fotonya kepada saya, saya khawatir niatan saya
jadi berubah. Saya khawatir yang tadinya saya memilihnya karena akhlak
dan agamanya, jadi berubah karena saya telah mengetahui seperti apa
wajahnya. Maka saya menolak fotonya itu. Biarlah saya melihat seperti
apa sosok Alga Biru ketika saya sampai di rumahnya di Medan. Saya
menyiapkan hati saya untuk menerima seperti apapun keadaan si Alga Biru.
Bisa jadi kupingnya ada dua, atau lubang hidungnya ada dua, atau
matanya ada dua (ya iyalah), dan saya mesti menerima seperti apapun
sosoknya. Namun Alga Biru memberitahu saya bahwa dia tetap mengirimkan
fotonya itu. Dan foto itu tersimpan di email saya tanpa saya buka-buka.
Allah swt memberi saya jalan keluar. Menjelang waktu keberangkatan
saya, pintu-pintu rizki terbuka, dan saya dapat ongkos pulang pergi dari
jalan yang nggak pernah saya duga. Menjelang saya berangkat, secara
tidak sengaja, akhirnya saya melihat juga sosok Alga Biru lewat fotonya.
Ketika itu seorang rekan saya ingin tahu akhwat yang akan saya lamar.
Maka saya bukakan email saya agar fotonya bisa dia lihat. Sementara saya
sendiri menyingkir, sebab saya tetap tidak ingin melihat foto si Alga
Biru. Waktu solat pun datang, saya minta rekan saya itu untuk menutup
file nya. Dia pun melakukannya. Setelah saya mengecek lagi komputernya,
ternyata dia tidak benar-benar menutup file nya, tapi cuman di-minimize
doang. Akhirnya ketika saya ambil alih komputernya, terhamparlah fotonya
si Alga Biru. Alhamdulillah, Allah menganugerahkan pasangan yang baik
dalam banyak hal. Baik sosoknya, baik perangainya, baik tuturkatanya,
dan baik agamanya.
Di atas jalan cita-cita yang saya tempuh itulah saya menemukan pasangan hidup. Kami pun menikah tanggal 18 Juni 2011 di Medan. Melalui Alga Biru, Allah menganugerahkan saya dua orang anak perempuan yang cantik-cantik dan lucu-lucu.
Allah subhanahu wata’ala memang telah menyiapkan siapa jodoh kita.
Tapi Allah tidak akan pernah memberitahukan siapa jodoh kita itu. Karena
itulah kita mesti memilih. Dan Rasulullah shalallahu ‘alayhi wasallam
telah memandu kita dalam menentukan pilihan itu. Kita boleh memilih
pasangan karena kecantikannya, atau karena kekayaannya, atau karena
keturunannya, dan jika kita memilih karena agamanya, kita akan bahagia
selama-lamanya. Jika kita telah memilih seseorang, dan orang itu pun
bersedia memilih kita, maka berdoalah kepada Allah dan perjuangkan orang
yang kita pilih itu sekuat tenaga. Jodoh pasti bertemu, insya Allah.
Zeki R.A.
Alga Biru adalah seorang dokter gigi lulusan Universitas Sumatera Utara. Sudah lama sekali saya mencari inspirasi terbaik untuk mewujudkan cita-cita saya menjadi dokter gigi dan penulis. Akhirnya saya mendapatkan sosok contoh rujukan terkait impian ini. Cerita di atas ada yang sangat menyentuh hati saya, yaitu sosok Lelaki yang sabar dan tawakal yang berserah pada Allah. Bagian ini yang membuat saya hampir menangis. Saya tidak bisa bayangkan jika keadaan Lelaki di atas terjadi pada saya. Kere, ditolak dengan menyakitkan, dan memutuskan mencintai serta nikah dengan cita-citanya. Lelaki ini sangat beruntung mendapatkan drg. Dian A. Hasibuan ini, dengan alasan ketabahan hatinya untuk menghadapi kehidupan yang dia jalani hanya untuk sebuah impian dan cita-cita. Banyak orang yang hanya terfokus pada cinta saja, ingin menjadi pengantin, memiliki pasangan idaman, dan hidup berumah tangga bahagia. Tapi Lelaki di atas lebih memilih teguh pada kontribusi terbaiknya untuk Islam, lewat media tulis yang dia kuasai. Tetap berpegang teguh pada islam ideologis. Meyakinkan pada diri kalau Allah dan surga saja sudah cukup.
Ini adalah pesan yang saya kirim pada drg. Dian.
Senang sekali rasanya membaca pesan ini. Kata "Iya ukh." membuat saya terharu, seakan-akan kami sudah berteman lama saja. Saya tahu alasannya, karena kami sama-sama memiliki mabda islam (in syaa Allah). Makanya ikatan ideologis inilah yang membuat kami tidak pernah merasa asing selama kami berada dalam ideologi yang sama.
"Yakinlah, ada sesuatu yang menantimu setelah banyak kesabaran (yang telah kau jalani) yang akan membuatmu terpana hingga kau lupa pedihnya rasa sakit." Sayyidina Ali bin Abu Tholib
Sudah lama sekali saya ingin menemukan aktivis da'wah yang berprofesi di bidang yang sama dengan saya. Saya mungkin belum tentu mendapat balasan lagi dari kak Dian, tapi itu saja sudah cukup. Saya sudah sangat senang bisa memberitahu keadaan saya dan kedokteran gigi di sini pada kak Dian. Mudah-mudahan misi saya untuk meratakan FKG UNLAM dengan islam kaffah bisa terwujud. Kalau bisa saya juga akan nikahi semangat mimpi menjadi dokter gigi dan sekaligus penulis demi berjuang di jalan da'wah ini. Hanya untuk jalan da'wah ini. Tak disangka, Lelaki di atas yang tadinya ingin menikah dengan mimpinya saja malah di beri Allah kado terbaik yaitu orang yang shalihah dan mampu mewujudkan impian itu bersama-sama. Semoga tulisan ini benar-benar jadi rujukan energi untuk saya, supaya saya bisa selalu pada kebaikan dan Allah saja. Semoga saya tetap gigih terus berfokus pada cita-cita saya dan Allah sampai mati syahid nanti. Aamiin yaa robbal'alamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar dari anda menambahkan hal positif bagi Zeki R.A.