Senin, September 09, 2013

Lacryma: Skandal Dakwah


Bismillahirrahmaanirrahiim ^_^

Rara

Assalamu'alaykum.wr.wb..

Perkenalkan nama saya Mutiara Muslimah, saya biasa dipanggil Rara. Kali ini saya ingin bercerita. Mungkin tullisan ini sedikit kontroversi ya, karena judulnya yang sedikit ekstrem. Tapi inilah yang ingin sekali saya curahkan—saya tidak bisa menyimpan sendiri apa yang menjadi beban saya.

Pernahkah anda merasa menjadi orang yang diintimidasi? Menjadi orang yang selalu di mata-matai? Orang yang selalu di pojokkan? Well, sebenarnya inti dari tulisan ini hanya sekedar ingin mencurahkan isi hati saya selama ini menjalani hiruk pikuk dunia dakwah di kancah kampus nasional *?*

Saya memang bukan orang yang alim, bukan juga orang yang senantiasa wara’ terhadap syariat islam, baaanyak sekali kekurangan yang saya miliki—bahkan mungkin saya ngga pantes jadi aktivis dakwah. That’s the point. Tapi akhirnya saya putuskan meski seburuk rupanya saya sebagai perwujudan aktivis dakwah, saya ingin memantaskan diri menjadi orang yang menolong agama Allah. Bisa dibilang, saya ngga tahu malu kalau saja saya tidak menjalankan kewajiban dakwah ini sedangkan Allah tanpa saya mintapun senantiasa memberikan ni’mat dan berkah di dunia ini. Jadinya ya gitu, saya putuskan jadi orang yang mengamalkan amar ma’ruf nahi munkar. Meski dalam perjalanannya saya banyak mendapat tantangan lahir maupun batin.

Cerita saya bermulai dari
bagaimana saya bisa mempelajari lebih dalam agama islam yang sudah sejak kecil saya anut. Ketika itu saya sudah pernah bikin tulisan tentang MLC kan ya? Bisa dilihat di link ini. Nah, sekarang saya sudah menghadapi tahun ketiga perkuliahan saya, dan terus saja menjalani tekanan selama berada di profesi pendakwah ini. Puncak kejenuhan berada di tempat yang senantiasa meluruhkan semangat saya.

Maaf, mungkin saya yang salah. Atau mungkin saya memang belum tentu salah tapi saya keliru dalam melakukan penatalaksanaan (menyikapi). Saya ingin sekali cepat berakhir masa jabatan mas’ul akhwat saya. Seriously! :(

Saya memahami kalau setiap orang memiliki sifat, hobi, makanan kesukaan, bahkan prinsip yang berbeda-beda. Tapi apa daya jika ternyata perbedaan itu juga terdapat pada pandangan seseorang dalam membangkitkan islam di muka bumi. Saya sudah menjalani 2 tahun kajian saya di 2 harakah yang berbeda. 1 harakah yang dulu juga ada di sekolah saya sebut saja harakah A. Lalu harakah yang ada di kampus saya yaitu harakah B.

Dalam perjalanannya, sebenarnya kedua harakah ini memang harakah yang baik. Saya sangat bahagia berada di antara orang-orang yang shalehah. Tapi setelah menjalaninya, saya semakin jenuh dengan keadaan yang memaksa saya “Come on! Your choice!” saya harus memilih dengan segera harakah mana yang harus saya jalani dengan fokus.

Sekarang kita bahas saja motivasi saya ingin mengkaji islam. Nah, jujur saja banyak sekali motivasi tiap-tiap orang kenapa dia tiba-tiba dekat dengan Allah lalu memutuskan untuk menjadi pejuang Allah. Beberapa di antaranya mungkin karena sedang terkena musibah atau cobaan, ingat Allah ketika Allah sudah kangen sama diaAllah tegur dia, baru deh dia nengok ke Tuhannya. Ada juga yang motivasinya mengkaji islam itu karena ingin menjadi istri orang yang luarbiasa. Hhhmmmm, tidak sedikit lho orang yang memiliki motivasi ini. Ingin membuat mudah kedua orangtuanya masuk surga? Nah, banyak juga yang alasannya begini. Macam-macam! Lalu apakah motivasi saya waktu itu?

Ketika saya pertama kali ikut acara Training dakwah, hal pertama yang membuat saya ingin mengkaji islam adalah saya ingin menjadi orang yang berprestasi. Beneran! Dalam artian, ketika sang pemateri Training mengatakan kalau saya jadi pendakwah maka tidak akan membuat saya tidak pintar, tidak akan mengurangi kecerdasan saya, malah kecerdasan saya semakin terasah—dan saya langsung percaya itu. Lalu apa, pada akhirnya saya ingin berdakwah hanya semata-mata karena berharap dengan cara itu saya bisa dapat IP 4! wKwk

Yaah, memang ada banyak ikhwan menawan, tapi sungguh, itulah motivasi saya. Saya orang yang sangat ambisius, itulah sifat saya. Pada akhirnya saya ngaji di harakah A dengan sangat semangat, ikhlas, rajin, meski saya sangat minim dalam hal belajar agama. Saya memulai kajian saya ketika saya masuk Kuliah Semester 1. Di semester 2 pun saya ikut kajian di kampus saya dengan harakah B, saya ikuti dengan semangat pula, hingga akhirnya berjalan sampai sekarang ini. Saya sudah melewati 4 semester menjadi aktivis dakwah.

Pada semester 3 saya terpilih menjadi mas’ul di kelompok dakwah kampus saya yang isinya adalah harakah B. Karena saya dipilih jadi mas’ul, saya akhirnya diwajibkan langsung mempelajari kitab mereka dan dibina oleh murobbi dari tetingginya langsung. Saya sangat mengapresiasinya, sangat ingin belajar lebih banyak. Biar jika ketika suatu saat nanti saya memilih menentukan harakah mana yang ingin saya bai’at bukan karena desas desus, bukan karena hasutan, bukan karena mood dll tapi karena memang saya sudah mempelajari dengan baik. Saya juga sering sekali bertanya ketika liqo tentang segala hal yang belum saya mengerti. Intinya saya ingin belajar.

Untuk harakah A, saya juga sangat senang berada di sana. Saya merasakan bagaimana perjuangan yang luarbiasa Rasulullah untuk menyelamatkan umatnya dari jahiliyah. Sekarangpun kita tahu bahwa umat islam sekarang dalam keadaan terpuruk, mereka islam tapi aturan hidup yang mereka pakai kapitalisme sekuler. Ini yang membuat mereka jauh jadi sebutan ‘umat terbaik’ yang dikatakan Allah dalam Al qur’an. Saya memahami tentang islam kaffah lewat harakah ini. Yaah intinya harakah A ini adalah harakah yang to the point menurut saya, ngga tanggung-tanggung menyampaikan opini. Juga berani sekali menyuarakan yang tidak semua orang berani suarakan.

Akan tetapi ketika di kampus, saya sudah paham bahwa ini mungkin terjadi, saya yang sudah di anggap orang kampus yang notabene ikut harakah B menganggap saya yang juga ikut harakah A adalah orang perlu di awasi. Entah karena harakah B tidak mau pemikiran harakah A masuk di antara kampus, bisa jadi. Saya tidak mempermasalahkannya, saya sangat memahami tiap orang punya prinsip. Perbedaan adalah bumbu gurih yang membuat hidup kita penuh tuntutan kedewasaan. Saya tidak peduli dianggap orang yang ‘keras’ ‘radikal’ Cuma karena saya juga ikut belajar di harakah A. Oh come on, how important it is? Memangnya salah kah jika kita ingin belajar banyak? Ingin tahu kebenaran?
“tidak, kami hanya tidak ingin kelompok dakwah kampus kita malah dapat imbas statement radikal dan keras gara-gara opini harakah A tersebut juga ikut masuk di tengah-tengah kader kelompok kampus ini.”

Itukah alasannya? Lalu bagaimana dengan kader kampus yang tidak tahu menahu tentang harakah B yang ternyata juga disengajakan masuk dalam pemikiran mereka? Intinya sama saja, antara harakah A dan harakah B itu sama—sama ingin di sebar luaskan opininya. Lalu, kenapa salah satu tidak mau pemikiran yang lain masuk pada orang-orang? Apakah karena salah satunya sesat? Tidak sesuai dengan syariat islam? Tidak sesuai al qur’an dan hadist?

Well, sejauh yang saya pelajari sekarang, harakah A dan harakah B sesuai dengan Al qur’an hadist. Tapi tinggal bagaimana pengemban dakwahnya memutuskan ikut mana sesuai dengan prinsip hidupnya. Iya, mau ikut harakah mana saja itu pilihan hidup, tidak ada yang salah jika kita memilih di antara dua itu. Dua-duanya punya dasar yang kuat kok. Lalu kenapa antara dua harakah ini ada yang membatasi pergerakan harakah lain? “eh, ada yang membatasi? Kami tidak membatasi. Kami Cuma menekankan bahwa kelompok dakwah kampus kita itu adalah kelompok dakwah yang legal dan patut di hargai perjuangannya.” Jawaban ini membuat saya bingung, harakah A juga legal kok, ada gedung nya di jakarta. Diakui pemerintah. Tidak dicekal layaknya ahmadiyah. Yaaah, mungkin saja maksudnya kampus ini adalah sarana dakwah resmi bagi harakah B karena memang petinggi-petinggi kampus mengemban pada harakah tersebut.

Pertanyaannya, kenapa harus membatasi penyebaran opini dakwah dari harakah lain? Atau bahkan secara khusus, membatasi pergerakan harakah A? Memangnya boleh ya membatasi pergerakan dakwah sesama muslim? Wallahu’alam bissawab, sampai sekarang saya tidak mendapat jawaban untuk hal ini. Saya pikir, mahasiswa adalah orang-orang yang mulai dewasa, bisa berpikir kritis dan masuk akal—dan sudah pasti bisa menilai sendiri apa yang menurut mereka baik ataupun tidak. Apapun keputusan seseorang tentang suatu harakah, biarlah itu menjadi urusan dia saja. Mahasiswa sekarang semakin cerdas, tak perlu kawatir dengan opini—mereka bebas memutuskan sendiri.

Ketika saya sudah dipilih menjadi mas’ul, saya diwajibkan untuk mengemban amanah yang terdapat pada kelompok dakwah kampus. Saya harus menjadi orang yang mengikuti prosedur. Itu tidak masalah, karena saya memang belum membai’at harakah manapun. Saya juga harus mempelajari lebih dalam pada ajaran yang terdapat pada harakah B. Hingga pada akhirnya saya sudah mendapat kesimpulan dari metode yang digunakan harakah B untuk membangkitkan agama islam. Yang saya pahami yaitu “Ketika kamu ikut di kajian harakah B, sedangkan kamu juga sedang ‘belajar pada harakah A’ (apa yang salah dengan belajar?) maka di setiap pertemuan halaqah di sana kamu akan terus di ‘efek’ atau mungkin di sudutkan, di beri materi yang fungsinya meyakinkan kamu agar mengakui kalau harakah B ini lah yang menjadi jamaah kamu dalam berdakwah. Tidak masalah jika ‘menyebut merk’ harakah lain adalah keliru metode yang digunakannya.” Itulah yang saya dapat. Sedikit risih dan di pojokkan, tapi mana saya tahu maksud dan tujuannya. Hanya Allah yang tahu. Entah mungkin ingin meyakinkan saya agar tetap pada jalurnya ketika menjabat sebagai mas’ul, tetap pada jalur standar dakwah harakah B intinya. Atau mungkin agar saya gerah dengan kajian ini dan mengundurkan diri jadi mas’ul akibat di tekan terlalu kuat? Sekali lagi, hanya Allah yang tahu. Niat dan semangat belajar saya, rasa penasaran saya akan ilmu agar saya tahu apa-apa yang belum saya tahu, keterbukaan saya untuk mendapatkan ilmu tiba-tiba luntur sedikit demi sedikit. Kesimpulan yang saya dapat, keterbukaan diri saya yang semangat ini tidak disambut baik. Malah mendapatkan ‘efekan-efekan’ saja. yaah, mungkin saya yang salah. Tapi saya bingung salah saya di mana. Meskipun begitu, saya tetap penasaran dan ingin tahu, kenapa mereka sampai begitu? Saya harus mempelajari lebih banyak.

Sebenarnya ada juga materi yang membuat saya tertegur atas perilaku saya yang belum sempurna, yaah memang saya sudah bilang dari awal saya bisa jadi bahkan tidak layak menjadi aktivis dakwah dengan kekurangan-kekurangan saya selama ini. Tapi saya tidak akan menyerah, saya akan terus berusaha hingga saya layak. Saya bersyukur ada yang negur saya.

Berbeda halnya dengan kajian pada harakah A. Mereka tidak pernah memojokkan saya, atau memberikan materi agar saya berada di jamaah mereka misalnya. Tidak, mereka hanya memberikan materi kalau umat islam sekarang terpuruk. Atau jika saya kebingungan dalam hal memahami tentang harakah lain, mereka tidak pernah sebut merk. Ini nyata. Saya hanya diajarkan bagaimana menjadi muslimah yang bangkit dan menjalani hidup dengan peraturan islam secara menyeluruh, lalu memikirkan lagi bagaimana realita umat islam sekarang ini. Kemudian, ketika saya mulai mendapatkan keraguan terhadapa harakah A ini, selalu ada saja jawaban yang shahih. Setiap jawabannya memuaskan. Mereka sangat menghargai harakah lain, tak pernah ingin mempengaruhi binaannya memandang jelek harakah lain. Mereka hanya menjawab apa yang ditanyakan. Bahkan membiarkan saya untuk belajar dan memutuskan sendiri. Apakah saya membela harakah ini? Tidak, demi Allah saya hanya katakan apa yang telah saya lewati dan terjadi pada saya. Ketika saya penasaran apa sih nama harakah yang menutup jalur gaza yang sebenarnya sangat berperan dalam pasokan makanan dan obat untuk Palestina (nurut sama peraturan demokrasi)? Musyrifah saya menolak memberitahu nama harakah tersebut. Beliau menyuruh saya mencari tahu sendiri.

Musyrifah saya pernah berkata pada saya “De, kalau ade mungkin nanti memilih ikut harakah mana saja itu. Apakah itu ‘di sini’, atau ‘di sana’—satu saja pesan kakak. Tetaplah lakukan segala hal dengan berpedoman al qur’an dan hadist. Kalau ade yakin dengan jilbab pakaian muslimah yang syar’i, kenakan itu de. Kalau ade tahu umat muslim hanya bisa tertolong dengan syari’ah dan khilafah, sampaikan itu de. Sampaikan terus dan lakukan terus syari’at islam meski di manapun harakah ade ikuti.” Subhanallah. Jika anda jadi saya, apakah anda akan merasa tertekan dengan kalimat ini?

Yah, memang dulu saya sempat cape dengan harakah A yang peraturan ketat, lalu segala hal yang dilakukan dalam dakwah ribet, cape, berisiko, menguras segalanya—sempat seperti itu. Tapi itu malah menandakan bahwa itulah kelebihan dari metode yang dipakai harakah A, lewat harakah ini—saya tahu Allah ingin saya memberikan tenaga, pikiran, waktu, harta dll segala milik saya hanya untuk agamaNya. Ketika itu saya malah sempat bersitegang dengan musyrifah saya. Berada di harakah ini berbeda, kita di tuntut tangguh dalam cacian dan cibiran. Sekarang pertanyaannya, apakah Rasulullah berdakwah dengan seruan-seruan? Apakah Rasulullah berdakwah sambil dicibir pula? Apakah Rasulullah berdakwah dengan masuk parlemen atau pemerintahan?

Sekarang saya sampaikan kejenuhan saya tentang kemelut ini. Ketika itu memang saya pernah berkata bahwa saya loyal dengan kelompok dakwah yang berada di kampus saya. Dengan menangis saya sampaikan bahwa jika di antara organisasi kampus bukan dakwah di bandingkan dengan kelompok dakwah kampus ini harus saya berikan kontribusi, maka saya sangat loyal dengan kelompok dakwah kampus ini. Dan itu benar, saya sangat menobatkan diri saya terhadap dakwah. Saya ingin berbagi kebaikan selagi saya bisa. Meskipun saya banyak dosa, setidaknya kebaikan yang kecil sekali ini bisa menolong saya di akhirat nanti. Saya loyal dengan kelompok dakwah ini—itu benar, bukan harakahnya, tapi Allah. Karena saya saja belum memutuskan satu suara dengan harakah manapun. Akan sangat egois dan tidak adil jika saya harus begitu.

Dalam menimba ilmu di harakah A pun saya tidak baik, jauuuh sekali kekurangan saya. Saya tidak cukup militan. Saya masih banyak sekali kekurangan. Akan tetapi ketika saya mampu melakukan, maka akan saya lakukan. Memang, jika dalam satu waktu terdapat amanah di harakah A dan juga harakah B, maka saya di tuntut menunjukkan apakah saya ini lebih mendahulukan yang mana. “Kami ingin tahu seberapa komitmen kader kita terhadap kelompok dakwah kampus. Layaknya hukum alam saja.” Pertanyaannya, bukankah yang layak di jadikan komitmen itu adalah islam? Allah SWT? Lalu apa yang harus di dahulukan? Jika kita tengok lagi, yang harus di dahulukan itu meski kedua-duanya hukumnya amanah wajib, maka dahulukan yang paling duluan membuat janji. Begitukan tata cara berjanji dalam islam? Itulah yang saya lakukan selama ini, saya dahulukan yang paling duluan berjanji dengan saya—ini bukan masalah komitmen. Komitmen saya hanya untuk Allah dan agamaNya kok, bukan untuk sekelompok orang. Itu namanya fanatisme, karena posisi saya sedang belum memilih. Terserah orang mau berkata apa tentang saya, entah saya dianggap tidak bisa diandalkan, tidak berguna dalam jamaah, tak masalah. Saya sudah biasa diinterogasi dan dimata-matai orang tentang keyakinan saya dalam membangkitkan islam lewat islam kaffah. Saya tipe orang yang mencontoh, maka yang saya lakukan hanya ingin mencontoh yang Rasulullah lakukan dalam dakwah. Apa yang  beliau lakukan saat dakwah waktu itu, ‘berdakwah seperti apa?’ apakah mengikuti kehendak kebanyakan orang?

Masih banyak sekali cerita kemelut ini terjadi dalam dunia dakwah saya. Mungkin ini ujian, apakah saya layak dan sanggup menjalani tugas yang tidak mudah ini. Problem ini tidak sesimpel ketika dulu saya ingin pakai kerudung atau tidak—menutup aurat atau tidak, tapi lebih kompleks. Oleh karena itu, bukan ada niat buruk saya ingin berbagi tulisan ini. Kata-demi-kata yang mungkin terangkai ini sekedar curahan isi hati saya. Saya menyimpannya begitu lama di tempat sempit atas leher saya berbentuk batok ini selama 4 semester. Menjadikannya beban selama 2 tahun. Saya curahkan lewat cerita tulisan ini, saya harap rasa sakit ini bisa membaik. Saya memahami betul perbedaan. Saya menghormatinya. Tapi tidak semua perbedaan memahami perbedaan yang lain.

Wassalamu'alaykum.wr.wb.. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar dari anda menambahkan hal positif bagi Zeki R.A.

Thanks for reading :)

Total Pageviews

ZEKI R.A.. Diberdayakan oleh Blogger.
 
Small Pencil