Kamis, Januari 21, 2010

SEMINAR MENULIS NASIONAL


Bismillahirrahmanirrahimm :)

        Diadakan 15 Mei 2011 di dekat kantor gubernur. Aku berangkat bersama teman—sebenarnya lebih tepat dibimbing teman. Lebih tepat lagi bukan teman, tapi kakak kelasku—Lana. Kurasa aku benar-benar merepotkan, tak apa, santai saja, itu yang selalu dia katakan. Anak baik. Aku tersesat sebelum aku janjian bertemu ka Lana untuk mendaftar seminar. Alhasil, tidak ada tempat fotocopy-an yang buka di hari minggu dan sepagi itu, jam 8 WITA. Mendapati tempat fotocopy di dekat Seminar berlangsung, kartu pelajarpun di salin. Ternyata saat mendaftar benar-benar tidak digunakan. “Apa ini?” ucap salah satu panitia. “Kan untuk mendaftar, fotocopy kartu pelajar.” Jawabku. “Oh, buat apa, tidak perlu.” Tambah si panitia, terlihat seperti masih mahasiswa, dan aku hanya membayar saja. Benar-benar tidak berguna aku cari kesana kemari tempat fotocopy-an sampai telat ikut acara pembuka. Padahal aku berharap duduk di depan. Tragis, aku benar-benar tidak terbiasa duduk di belakang.
        Acara dimulai. Aku melihat dengan tatapan antusias. Benar-benar ingin menulis fiksi, pikirku. Dan ini baru kali pertama aku ikut seminar bertemakan Sastra. Biasanya—aku—ya—menulis karya tulis ilmiah—ini karir pertamaku di kelas 10 SMA. Pengisi pertama Bu Izzatul memulai materi. Oiya, pembukaan acaranya sudah lewat, sekarang profesi MC digantikan moderator. “Siapa yang ingin menjadi penulis?” seru Bu Izza, beberapa orang angkat tangan. Aku tidak. “Siapa ingin menjadi wartawan?” beberapa orang angkat tangan. Aku tidak. “Siapa yang ingin menjadi Peneliti?” kali ini kurasa—ya—sepertinya hanya aku yang angkat tangan.
          Benar-benar menyenangkan. Seminar yang berharga, walau baru kali ini aku mengenal sastra, tapi kali ini aku benar-benar mendapat pelajaran istimewa. Belum lagi dapat buku gratis. Hal ini bagian yang paling ku suka. Dalam menulis, ada banyak kelegaan yang akan kudapatkan. Kelegaan pemikiran, Kelegaan Materi, Kelegaan Emosi dan Kelegaan … (aku lupa). Dan lagi, pertanyaan ini muncul. Benar-benar ingin menjadi penulis fiksi ya?
       Sejak mengikuti seminar itu, aku mulai mencoba menulis ini, yang kau baca ini. Hanya tulisan pengalaman sih. Tapi semoga bermanfaat bagi pembaca. Dan aku memutuskan untuk menulis mulai sekarang untuk mendapat kelegaan. Rasa penasaranku dengan fiksi berawal dari hobiku membeli buku-buku fiksi fantasi, novel terjemahan. Salah satunya adalah NARNIA. NARNIA novel fiksi fantasi pertama yang ku beli. Benar-benar hebat. Sejak itu aku mulai tergila-gila dengan novel fiksi fantasi, apalagi yang berbau sihir. Aku berniat membuat karya fantasiku sendiri.
           Sebenarnya kesukaanku pada buku sudah ada sejak aku SD, hanya saja aku belum menyadarinya. Aku benar-benar anak yang menjaga semua buku milikku. Kali ini aku belum sadar aku suka buku. Saat SD aku selalu dibelikan ayah komik. Aku membacanya dengan semangat. Komikkupun makin banyak. Walau sebagian besar hilang entah ke mana. Aku suka sekali dengan buku catatanku. Tiap hari aku selalu membawa nya, tentu karena itu wajib ada untuk setiap orang yang bersekolah, dan kelainan yang kulihat, aku suka sekali mencium buku catatanku, aku merasa tulisan tanganku benar-benar bagus dan buku-buku paket yang kupunya selalu kujaga seperti “pet” atau peliharaan.
            SMP adalah yang parah, aku benar-benar tidak suka membaca, tapi aku suka buku-buku tebal yang tujuannya dibeli malah bukan untuk di baca tapi dicium aromanya, bau buku-buku ini enak sekali asal kau tau saja , dan Taj Mahal dalah novel pertama yang pernah kumiliki. Dan kisah buku itu benar-benar menyentuh. Kali ini aku masih belum menyadari aku suka buku.
            SMA aku bertemu novel NARNIA. Benar-benar novel yang ekstrem, iya, ekstrem itu baku dalam kamus besar bahasa Indonesia. Sejak itu aku suka sekali buku fiksi fantasi. Aku mulai mebeli buku-buku fiksi fantasi. Tiap bulan aku menggunakan uang bulanan untuk membeli 1 pak sekaligus, hal ini benar-benar merasuk jiwaku, sampai-sampai aku tidak mau membeli buku fiksi fantasi yang tidak langsung satu pak. Dan kali ini sudah kelewatan, aku tidak bisa berhenti membelinya, jika aku sudah membeli 1 pak (isinya bisa 3-5 buku) untuk NARNIA ada 7 dan ku habiskan membacanya paling tidak 3-7 hari setiap pak aku selalu ingin membeli lagi. Dan kali ini aku sudah punya 3 pak buku, dan 1 seri terakhir buku harry potter yang tebalnya 4,3 cm, buku-buku tebal ini membuatku bergairah.
          Suatu pagi, ayah mendekati aku yang merapikan buku-buku fiksi ku. “waduh, tebalnya!” ucap ayahku melihat ada buku yang tergeletak dengan ketebalan 4,3. Kurasa kau tau itu buku apa, aku sudah membahasnya kan. “hehe, iya yah, tebalkan?” ucapku bangga, dibaliknya, aku sedikit ragu memperlihatkan semua ini pada ayah. “pasti mahal ya? 70 an?” ucap ayah, masih membahas buku tebal tadi. Kali ini aku terpukul. Buku seperti itu terlalu murah jika seharga 70rb rupiah. Aku membelinya 260rb rupiah. Aku merasa bersalah pada ayah, aku takut beliau marah, aku selalu menggunakan uang bulanan ku untuk buku-buku ini, ini gawat, mungkin beliau akan paham kenapa uang itu tidak pernah bersisa. “jangan marah ya yah, harganya 260rb” suaraku lirih, takut dimarahi. Tapi—unik—ayahku tertawa. Dan aku menambahkan. “mahal yah, maaf ya yah.” Tapi ayahku nyengir “anakku suka membaca ya?” aku mengangguk. “ngga papa, sekali-sekali habisin uang, tapi ya jangan terlalu maniak juga ya, buku sekolah lebih penting.” “iya, yah” ucapku. Berharap kalimat itu benar-benar kalimat berarti rasa pengertian. Karena sebenarnya, masih ada satu buku lagi yang ingin ku beli, ditulis oleh Johnathan Strange. Aku berharap bisa membeli nya dan menjadi buku fiksi fantasi terakhir yang akan ku beli. “Selanjutnya, aku ingin menulis fiksi ku sendiri dan hal ini kulakukan diselingan kuliahku ^_^ Aamin yaa Robbal’alamiin”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar dari anda menambahkan hal positif bagi Zeki R.A.

Thanks for reading :)

Total Pageviews

ZEKI R.A.. Diberdayakan oleh Blogger.
 
Small Pencil